Nasehat Bagi Penuntut Ilmu

Alloh Ta'ala berfirman: 

سَأَصْرِفُ عَنْ آيَاتِيَ الَّذِينَ يَتَكَبَّرُونَ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ

"Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa haq dari ayat-ayatKu". (Al-A'rof: 147).  

Ibnu Katsir berkata: 

أي: سأمنع فهم الحجج والأدلة على عظمتي وشريعتي وأحكامي قلوب المتكبرين عن طاعتي، ويتكبرون على الناس بغير حق، أي: كما استكبروا بغير حق أذلهم الله بالجهل. 

"Maksudnya: "Aku akan halangi dari memahami hujjah dan tanda kebesaranKu, syariatKu, dan hukum²Ku, hati orang-orang yang sombong dari ketaatanKu dan mereka sombong kepada manusia tanpa haq, ", yakni: sebagaimana mereka takabbur tanpa haq, Alloh hinakan mereka dengan kebodohan". (Tafsir Ibnu Katsir: 3/474-475). 

Betapa banyak orang berprasangka bahwa ilmu didapatkan dengan hal-hal yang lahiriyah saja, seperti: menghafal, menghadiri majelis, memiliki buku ini dan itu, tapi melupakan dan lalai dari perkara-perkara batin, yaitu: taat kepada Alloh dan menjauhi maksiat dan dosa, padahal bahan ilmu yang paling besar ialah perkara batin ini. Maka selain mengambil sebab-sebab yang lahir, kita harus mengiringnya dengan hal-hal yang batin ini. 

 Ilmu bukan semata kamu menghafal, tapi ilmu ialah kamu diberikan taufik oleh Alloh untuk memahami apa yang kamu hafal, dan paham terhadap ilmu tidaklah terwujud kecuali dengan jernihnya jiwa.  Coba perhatikan, betapa banyak ilmu yang diangkat dari hati seseorang padahal ia sering atau banyak mengahafal, atau sering hadir di majelis ilmu. Ada kalanya seseorang itu dihalangi dari ilmu karena dosa yang ia lakukan, adakalanya ia dihalangi dari ilmu karena teman dekatnya, teman dekatnya melakukan dosa, sebagaimana dihikayatkan dari sebagian salaf. 

Penuntut ilmu hendaknya memperhatikan hal ini, sering-sering melihat kembali bagaimana hati dia, bagaimana ketaatanNya kepada Alloh, sejauh mana dia menjauhi dosa dan maksiat. Terkadang kamu tidak bisa memahami suatu permasalahan ilmu dengan baik -yang itu sebenarnya nampak jelas sekali- dikarenakan isi hatimu. 

Dikisahkan bahwa suatu ketika Al-Mawardi duduk di kursi halaqoh dia mengajar, dan manusia duduk di sekililingnya, kemudian di hatinya ia merasa bahwa ia adalah manusia yang paling faqih dalam madzhab Syafi'i, maka ketika itu datang seorang perempuan ke halaqohnya dan berdiri sambil berkata: "wahai faqih (ahli fiqih)!, apa pendapatmu tentang perempuan yang begini dan begini?" perempuan itu menyebutkan tentang permasalahan haidnya

Maka Al-Mawardi berkata pada dirinya sendiri: "aku diam seketika, seakan-akan aku belum pernah mendengar permasalahan ini, maka tatkala aku diam cukup lama, salah satu muridku berkata: "semoga Alloh merahmatimu!, bukankah kamu pernah sebutkan bahwa masalah ini seperti ini dan begini pada hari sekian dan sekian?", maka aku katakan: "iya", kemudian aku katakan jawaban itu kepada perempuan yang bertanya tadi, lalu perempuan itu berkata: "sungguh orang ini (muridmu) lebih berhak duduk di kursi ini".  

Syeikh Sholih Al-'Ushoimi berkata setelah membawakan kisah ini: "Alloh memberikan pelajaran kepadanya dengan ini".  Ilmu merupakan warisan nubuwwah, sebagaimana nubuwwah merupakan pilihan dari Alloh, maka warisannya begitu pula, Alloh tidak memberikannya kepada hati yang tidak berhak menerimanya.  Ilmu yang bermanfaat tidaklah didapatkan kecuali dengan ketaatan dan ketundukkan kepada Alloh dan keshalihan.

Kita harus sering-sering menengok kembali diri kita dalam hal ini, agar kita merasakan manisnya iman dan ilmu. Adapun kursi terpandang, jabatan, dan pangkat, ini semuanya buih dunia semata, akan tetapi hati yang merasa cukup dengan Alloh, menghadap dan taat kepada Alloh, itulah manisnya ilmu. Orang yang keadaannya seperti ini, pujian dan celaan manusia akan sama saja di mata dia, dan inilah hakekat ikhlas.

Asal catatan ini adalah nasehat  dari Syeikh Sholih Bin 'Abdillah Al-'Ushoimi di salah satu majelis di antara majelis-majelis السرد المجود لصحيح مسلم Ramadhan 1439.  



Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url